Lutfianti
Bening Safira (F1C016013)
Rani Nuraeni
Khairunnisa (F1C016014)
Ibrahim
Bramantia Putra (F1C016015)
“Perkembangan Ebeg Banyumasan Dikalangan
Mahasiswa Ilmu
Komunikasi Fisip Unsoed 2016”
A.
Latar
Belakang Masalah
Kesenian adalah salah satu bagian dari
kebudayaan dan merupakan hasil budi daya manusia. Bentuk kesenian yang ada di
Indonesia adalah seni musik, seni lukis, seni drama, seni sastra dan seni tari.
Perwujudan seni yang ada di masyarakat merupakan cermin dari kepribadian hidup
masyarakat. Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari
kebudayaan atau kesenian yang dimilikinya, oleh sebab itu kesenian sebagai
salah satu bagian dari kebudayaan perlu
dilestarikan dan dikembangkan.
Banyumas sebagai salah satu bagian
wilayah propinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat,
dialek, makanan tradisional dan kesenian yang menarik, hal tersebut dikarenakan
letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda
yaitu masyarakat Jawa Barat dengan etnik Sunda. Kesenian khas Banyumas tersebar
di seluruh daerah-daerah sekitar Banyumas seperti di Purwokerto, Cilacap,
Banjarnegara, Purbalingga, Gombong, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, Kulon progo,
dan Magelang. Kesenian-kesenian tersebut pada umumnya merupakan seni
pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi- fungsi tertentu berkaitan dengan kehidupan
masyarakat pemiliknya. Kesenian yang berasal dari di daerah Banyumas antara
lain, Aplang, Buncis, Sintren, Angguk, Ebeg atau Jathilan, Dhames, Baritan, Ujungan, Gamelan
Calung, Wayang kulit, Jemblung, Begalan, Aksi muda, Rodat, Dhaeng, Sintren,
Ronggeng, Ketoprak, Dagelan, dan
Lengger Calung.
Ebeg
merupakan salah satu kesenian yang banyak berkembang di daerah Jawa Tengah,
khususnya bagian selatan hingga barat seperti Banyumas, Purbalingga, Cilacap,
dan Kebumen. Ebeg merupakan jenis
tarian yang bercerita mengenai kegiatan latihan perang para prajurit berkuda
pada jaman dahulu dan memiliki ciri khas yaitu menggunakan kuda kepang sebagai
alat tariannya. Dalam satu grup ebeg,
biasanya terdiri dari 5 hingga 8 orang pemain dan diiringi oleh gamelan lengkap
dengan perangkat-perangkatnya yang lazim disebut bendhe. Menurut beberapa sumber, tarian ebeg ini sudah mulai berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro.
Tarian ini berupa dukungan rakyat jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam
melawan penjajah Belanda. Tarian ini biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu
dua kali tarian buto lawas, tarian senterewe, dan tarian begon putri. Tarian ini tidak memerlukan
koreografi khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak. Sang penari dapat
bergerak bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun seringkali dikaitkan
dengan hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada intinya tarian ini
memberi pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan imbauan kepada manusia
agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang Pencipta.
Kelincahan para penari merupakan simbol
semangat dan kekuatan para nenek moyang kita dahulu. Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik
yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana di
kenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah mendhem. Pemain akan kesurupan seperti halnya makan beling atau
pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih
hidup, berlagak sepeti monyet, ular, dan sebagainya.
Ebeg
termasuk kesenian yang tergolong cukup
diperhitungkan dalam hal umur. Diperkirakan kesenian jenis ini sudah ada sejak
zaman animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah
adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru. Bentuk-bentuk kesenian ini
merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
B.
Rumusan
Masalah
Berangkat
dari latar belakang masalah yang telah di kemukakan. Maka rumusan masalah yang
diangkat adalah :
1.
Bagaimanakah deskripsi Ebeg Banyumasan
2. Bagaimanakah
pandangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed 2016 tentang kesenian Ebeg Banyumasan
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan dari makalah yang dibuat adalah :
1. Mengetahui
deskripsi Ebeg Banyumasan
2. Mengetahui
pandangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed 2016
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan dari
makalah ini mempunyai dua manfaat yaitu :
1. Manfaat
teoritis
Secara teoritis
penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan yang
berkaitan dengan Ebeg Banyumasan
2. Manfaat
praktis
Melalui tulisan makalah
ini diharapkan mahasiswa dapat menyumbangkan pemikiran terhadap Ebeg Banyumasan dikalangan remaja,
khusunya Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed 2016
E.
Pembahasan
1. Deskripsi
seni Ebeg Banyumasan
Dalam
kegiatan ebeg memerlukan banyak
persiapan dalam hal perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para pemain.
Acara biasanya di mulai setelah waktu sholat duhur atau sekitar jam 1 siang
sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan seperti Gendhing pengiring yang dipergunakan
antara lain kendang, saron, kenong, gong,
dan terompet. Selain gendhing dan
tari, ada juga ubarampe yang harus
disediakan seperti bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lainnya. Untuk
mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,
cebonan, dan sebagainya. Jumlah penari biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai
pemimpin atau dalang dan 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan satu grup ebeg biasanya terdiri dari 15 orang atau
lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg
dan si penthul-tembem memakai topeng.
Tarian ini termasuk tarian massal, jadi biasanya tarian ebeg dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran
rumah yang cukup luas.
Ketika
para penari mulai kesurupan atau yang dikenal dengan mendhem. Pada saat mendhem,
para penari sedang dirasuki oleh indhang.
Indhang adalah roh halus yang dapat
merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut sehingga
ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi kemampuan manusiawinya. Adanya Indhang dalam kesenian ini merupakan
mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan yang
ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan yang mentradisi
sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Pada
babak ebeg-ebegan, indhang yang datang bukanlah indhang yang baik, tetapi indhang jahat/brangasan sehingga penari ebeg yang telah kerasukan indhang akan mencapai keadaan trance yang membuatnya mampu melakukan
hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya: memakan pecahan kaca tanpa terluka,
memegang bara api tanpa menjadi terbakar, duduk dengan menggunakan pisau tetapi
tidak terluka, dan ada yang mengajak berkelahi penonton apabila indhang
yang masuk merupakan indhang yang jahat dan memiliki dendam
dengan seseorang sewaktu hidupnya. Gerak para penari yang sudah kerasukan indhang sangat berbeda dengan gerak penari
lainnya. Para penari yang trance atau
mendem (ndadi) mereka sudah memiliki
kekuatan, stamina yang lebih bahkan mampu melakukan kegiatan di luar jangkauan
manusia biasa. Mereka makan kaca/beling, bara api, padi, bunga, kreweng atau pecahan genting dan makan
ayam hidup-hidup.
Untuk
mendapatkan indhang para penari ebeg harus melakukan ritus. Keberadaan indhang yang merasuki penari ebeg sebagai kekuatan yang berasal dari
alam lain membuat para penari melakukan cara-cara khusus untuk mendapatkannya.
Penari yang memperoleh Indhang harus
melakukan laku tirakat. Laku tirakat adalah menjalankan
sikap-sikap hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih dan
melakukan berbagai kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan untuk
berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri, dan melakukan berbagai latihan semedi. Dalam hal ini, biasanya penari ebeg harus melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa
Senin-Kamis, dan bersemedi di petilasan Brawijaya.
Di
samping Indhang manusia, danyang Brawijaya sering memberikan indhang binatang, seperti kuda, buaya,
dan monyet. Seorang penari yang kerasukan indhang kuda menunjukkan perilaku
yang mirip dengan kuda seperti melompat-lompat, meringkik, menyepak-nyepak
sambil mengibaskan ebegnya, memakan
makanan yang biasa dimakan kuda yaitu bekatul, beras, bunga kantil, bunga
melati, daun papaya, dan rumput yang ada di sekitar pemain atau sengaja
disediakan. Kalau belum tersedia biasanya penari yang sedang trance akan meminta melalui pawangnya.
Penari
yang kerasukan indhang monyet biasanya
akan melepaskan properti ebeg yang
dipakai. Penari bergerak, bersuara, dan berteriak-teriak sambil meperlihatkan
giginya, memanjat pohon, memetik buahnya, memakan buah sambil bergelantungan di
pohon seperti yang dilakukan monyet. Penari juga dapat mengupas kelapa dengan
giginya, memecahkannya dan memakan buah kelapa tanpa alat bantu yang lain.
Penari yang sudah kerasukan indhang
buaya akan bergerak layaknya seekor buaya. Penari akan berguling-guling di
tanah, merangkak sambil meliuk-liuk, meminum air, dan memakan makanan yang
layaknya dimakan buaya.
Dalam
ebeg, saat para penari mendhem menunjukan kekuatan satria,
demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit
berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak
jarang penonton ikut terbawa dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar,
beberapa penonton akan mengikuti gerakan
dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda lumping
lainnya. Hal tersebut karena mereka dari penonton telah terkena roh penari kuda
lumping.
Semua
penari yang kerasukan Indhang akan
bergerak dan menunjukkan aksinya dalam waktu yang tidak sama. Proses
penyembuhan dari trance dilakukan
oleh pawang dengan cara memberikan air putih yang sudah diberi mantra kepada
penari yang sedang trance dan penari
memberikan bisikan kepada pawangnya atau penari lain untuk menyediakan syarat
yang diminta oleh indhang. Setelah
syarat dipenuhi maka penari dipegang ubun-ubunnya dan dibisiki mantra-mantra,
ditiup ubun-ubunnya. Penari yang sudah disembuhkan akan terjatuh dan tidak
sadar selama beberapa menit sampai indhang
yang ada dalam tubuhnya menghilang atau kembali ke alamnya.
Proses
penyembuhan oleh pawang tidak selamanya mulus ada yang indhang tidak mau pergi dari tubuh penari sebelum disembuhkan
dengan cara khusus, yakni meminta kepada pawang untuk ditidurkan di atas dua
buah alat penumbuk padi atau dalam bahasa jawa disebut alu, kemudian ditutup dengan kain diangkat oleh beberapa orang
dibawa berputar-putar baru diletakkan di atas tanah, didiamkan sampai indhang tersebut pergi, penari akan
sadarkan diri dan membuka kain itu sendiri kemudian berdiri seperti tidak
terjadi apa-apa dalam dirinya.
2. Pandangan
Ebeg Banyumasan
menurut Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed 2016:
Pertanyaan
:
1) Apa
yang Anda ketahui tentang Ebeg Banyumasan?
2) Apa
Anda tahu tentang mitos atau hal-hal yang berkaitan dengan hal mistis yang ada
di ebeg? Berikan contohnya.
3) Apakah
ditempat Anda terdapat kesenian serupa?
4) Bagaimana
pandangan Anda tentang Ebeg Banyumasan
pada zaman sekarang?
5) Menurut
Anda, bagaimana cara untuk melestarikan Ebeg
Banyamasan?
Jawaban
dari berbagai mahasiswa :
a) Shafira
Anindyanari-Purwakarta, Jawa Barat
1) Sebenarnya
saya tidak tahu Ebeg Banyumasan,
tetapi kata teman saya Ebeg Banyumasan
sejenis kuda lumping.
2) Iya
tahu, seperti di rasuki arwah.
3) Ada
tetapi sudah jarang, namanya di daerah saya ya kuda lumping.
4) Saya
tidak tahu persis Ebeg Banyumasan
karena kesenian ini sudah hampir tidak ada.
5) Dengan
cara banyak membuat acara yang menampilkan Ebeg
Banyumasan.
b) Helmina
Rafifa Faiztyan-Purwokerto, Jawa Tengah
1) Ebeg Banyumasan
itu kesenian Banyumasan seperti kuda lumping, makan beling, pakai indhang.
2) Tau,
tetapi tidak tahu persis. Orang yang punya indhang
biasanya itu dapat dari turun temurun sesepuhnya. Jadi ga semua orang bisa
punya indhang, maka dari itu si orang
yang punya indhang bisa makan beling,
makan serabut kelapa dan melakukan hal-hal yang berbahaya lainnya.
3) Tidak
ada, kebanyakan ebeg ada di desa.
4) Menurutku
ebeg itu susah di cari. Aku pengin
nonton tetapi ga ada, sekalipun ada itu juga cuma di ketahui komunitas tertentu
yang secara luas ga di publikasian. Aku harap mereka bisa muncul lagi terutama
pemerintah harus lebih sadar bahwa ebeg
bisa menambah nilai pariwisata karena itu adalah salah satu keunikan yang
dimiliki oleh banyumas.
5) Generasi
muda sekarang ada yang berusaha untuk melestarikan budaya ebeg tersebut agar ga punah dan mendedikasikan diri untuk kesenian
tersebut.
c) Ochto
Ilhamdi Sujagad-Purbalingga, Jawa Tengah
1) Seni
pertunjukan yang banyak mengandung hal mistis.
2) Tentang
arwah yang merasuki tubuh pemain ebeg.
3) Ada,
Ebeg Purbalingga.
4) Kurang
begitu diminati, karena sampai sekarang tidak bisa go internasional.
5) Sosialisasi
oleh pekerja seni ebeg tersebut
kepada masyarakat melalui media sosial.
d) Arum
Widayatni-Batang, Jawa Tengah
1) Baru
dengar. Saya tahunya kuda lumping.
2) Kalo
musik udah nyala biasanya banyak yang kesurupan kaya di masukin roh halus gitu.
3) Ada,
kuda lumping namanya bukan ebeg.
4) Kurang
di lestarikan dan anak jaman sekarang juga banyak yang tidak tahu.
5) Bikin
sanggar agar anak muda mempunyai wadah untuk melestarikannya.
e) Ngaisah-Purwokerto,
Jawa Tengah
1) Suatu
kebudayaan banyumas yang di lakukan oleh laki-laki.
2) Tau,
seperti ghaib. Pada saat si penari “njantur”
konon ada makhluk halus di dalamnya.
3) Ada
ebeg juga dan di tempatku ada
sanggarnya juga.
4) Biasa
saja, sebenernya tergantung dari pandangan seseorang tentang kebudayaan itu.
5) Di
awali dari masyarakat sendiri karena jika masyarakat itu menyadari bahwa
kesenian itu harus tetap ada dan di lestarikan.
f) Muhammad
Rifqi Ilhami-Jakarta, Jawa Barat
1) Tidak
tahu Ebeg Banyumasan.
2) Biasanya
ada kesurupan, bisa makan beling, dan lain-lain.
3) Kalo
dari budayanya ada tapi kalau dari acara sering tidak ada.
4) Sekarang
kurang, dalam artian tidak ada yang meneruskan seakan di telan bumi.
5) Di
bangun kesadaran, karena budaya di suatu daerah itu penting sebagai identitas daerah
tersebut.
F.
Penutup
A. Kesimpulan
Secara
garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia
diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke
generasi saat ini. Sekarang, kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari
seni budaya tradisional yang sudah semestinya menjaga dan memeliharanya dengan
baik. Tugas kita adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke
hari tidak pupus dan hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita.
B. Saran
Kesenian
tradisional Ebeg Banyumasan merupakan
bentuk kesenian warisan budaya yang tetap kita jaga dan lestarikan. Namun,
alangkah baiknya bila kesenian tradisional Ebeg
Banyumasan ini di lestarikan oleh anak muda zaman sekarang, agar kelak Ebeg Banyumasan tidak cepat di lupakan
dan tidak akan punah untuk selamanya.
G.
Daftar
Pustaka
Sukoco, Antonius., 2010, Pengertian
Kebudayaan dan Seni,
(https://etno06.wordpress.com/2010/03/17/pengertian-kebudayaan-dan-seni/ ,
diakses tanggal 2 Desember 2016).
Gambar Hasil Wawancara
Gambar.1
Wawancara Shafira Anindyanari-Purwakarta-Komunikasi 2016
Gambar.2
Wawancara Helmina Rafifa F-Purwokerto-Komunikasi 2016
Gambar.3
Wawancara Ochto Ilhamdi S-Purbalingga-Komunikasi 2016
Gambar.4
Wawancara Arum Widayatni-Batang-Komunikasi 2016
Gambar.5
Wawanca Ngaisah-Purwokerto-Komunikasi 2016
Gambar.6
Wawancara Muhammad Rifqi I-Jakarta-Komunikasi 2016