A.
Kognisi
Sosial
Menurut
Bron dan byrne (2000), kognisis sosial merupakan cara individu untuk
menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi mengenai kejadian atau
peristiwa-peristiwa sosial. Menurut Bargh, dan Higgins kognisi sosial adalah
bagaimana cara kita berfikir tentang dunia sosial, bagaimana cara mencoba kita
untuk memahaminya dan bagaimana cara kita memahami diri kita dan tempat kit
didalam dunia itu, jadi secara singkat kognisi sosial adalah tatacara kita
mengiterpretasikan, menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi tentang
dunia sosial yang terjadi secara otomatis.
Komponen
dasar kognisi sosial adalah skema. Skema adalah struktur mental yang membantu
kita mengorganisasikan informasi sosial, dan menuntun prosesnya. Skema berkisar
pada suatu subyek tertentu. Skema di otak kita terbentuk berdasarkan pengalaman
yang pernah kita alami sendiri atau diceritakan oleh orang lain.
Di dalam kognisi sosial ini,
terdapat faktor-faktor yang menimbulkan kesalahan, yaitu
1. Bias
Negativitas, yaitu sebuah kecenderungan yang memberikan perhatian lebih pada
informasi yang negativ. Dibandingkan dengan informasi positif, satu informasi
negativ akan memiliki pengaruh lebih kuat.
2. Bias
optimistic, yaitu suatu predisposisi untuk mengharapkan agar segala sesuatu
dapat berakhir baik. Banyak orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan
lebih besar dari orang lain untuk mengalami peristiwa negativ dan kemungkinan
kecil mengalami peristiwa negativ.
3. Kerugian
yang mungkin terjadi akibat terlalu banyak berpikir, maksudnya adalah jika kita
terlalu banyak berpkir dapat menyeret kita ke dalam kesulitan kognitif yang
serius. Mencoba berpikir sistematis dan rasional mengenai hal penting adalah
penting.
4. Pemikiran
konterfaktual, yaitu memikirkan sesuatu yang berlawanan dari keadaan sekarang.
Efek dari memikirkan “apa yang akan terjadi seandaiya...”
5. Pemikiran
magis, yaitu berpikir dengan melibatkan asumsi yang tidak didasari alasan yang
rasional.
6. Menekan
pikiran, yaitu usaha untuk mencegah pikiran tertentu memasuki alam kesadaran.
Proses ini melibatkan dua komponen yaitu proses pemantauan otomatis yang
mencari tand adanya pemikiran yang tidak diinginkan yang memaksa untuk muncul
kealan sadar. Ketika pikiran tersebut terdeteksi, proses kedua akan muncul
yaitu mencegah agar pikiran tersebut tetap berada diluar kesadaran tanpa
mengganggu pikiran lain.
Afeksi
dan kognisi sosial sebenarnya mempunyai keterkaitan, terlihat ketika perasaan
dan suasana hati memiliki pengaruh yang kuat terhadap beberapa aspek kognisi,
dan kondisi juga berperan kuat pada perasaan dan suasana hati kita. Suasana
hati saat ini dapat secara kuat memengaruhi reaksi kita terhadap rangsang yang
baru pertama kita temui. Pengaruh afek lainnya adalah pengaruh pada ingatan.
Ingatan yang bergantung pada suasana hati ( Mood Dependent Theory ), yaitu apa
yang kita ingat saat berada dalam suasana hati tertentu, sebagian besar
ditentukan oleh apa yang kita pelajari sebelumnya ketika kita berada dalam
suasana hati tersebut. Pengaruh kedua adalah efek kesesuaian hati ( Mood
Congruence Effects ) yaitu kecenderungan untuk menyimpang atau mengingat
informasi positif ketika berada dalam suasana hati positif dan informasi
negatif keika berada dalam suasana hati
negatif. Suasana hatu saat ini juga berpengaruh pada komponen kognisi lain
yaitu kreatifitas. Informasi yang emosional atau emotional information yaitu
suatu proses dimana penilaian, emosi, atau perilaku kita dipengaruhi oleh
pemrosesan mental yang tidak disadari dan tidak terkontrol
Kognisi
juga dapat mempengaruhi afeksi yang dijelaskan oleh teori emosional dua factor
(two-factor theory of emotion) (Schachter, 1964) yang menjelakan bahwa kita
sering tidak mengetahui perasaan atu sikap kita sendiri. Sehingga, kita
menyimpulkannya dari lingkungan—dari situasi di mana kita mengalami
reaksi-reaksio internal ini. Contohnya: ketika kita mengalami perasaan tertentu
atas kehadiran seseorang yang menarik, kita menyimpulkan bahwa kita sedang
jatuh cinta. Selain itu, kognisi bisa mempengaruhi emosi melalui aktivitas
skema yang di dalamnya terdapat komponen afektif yang kuat. Skema atau
stereotip yang teraktivasi dengan kuat dapat sangat berpengaruh pada perasaan
atau suasana hati kita saat ini. Selain itu, Pikiran bisa mempengaruhi afeksi
melibatkan usaha kita dalam mengatur emosi kita
B.
Persepsi
Setiap orang mempunyai pendapat
atau pandangan yang berbeda dalam melihat suatu hal (obyek) yang sama.
Perbedaan pandangan ini akan dapat ditindak lanjuti dengan perilaku atau
tindakan yang berbeda pula. Pandangan itu disebut sebagai persepsi. Persepsi
seseorang akan menentukan bagaimana ia akan memandang dunia.
Wagner dan Hollenbeck (1995:136)
mengemukakan pendapatnya bahwa: “We human beings have five senses through which
we experience the world around us; sight, hearing, touch, smell and taste.
Perception is the process by which individuals select, organize, store and
interpret the information gathered from these senses”. Pendapat tersebut kurang
lebih mempunyai arti bahwa kita manusia memiliki lima indera dimana lewat
indera-indera tersebut kita bisa mengalami dunia yang ada disekitar kita; yaitu
lewat indera penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan pengecap. Persepsi
merupakan proses dimana seseorang memilih, mengelola, menyimpan dan
menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dari indera-indera
tersebut. Pendapat Wagner dan Hollenbeck tersebut mirip dengan Robbins
(2003:160) yang mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang ditempuh
individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka
agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Sejumlah faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Robbins adalah pelaku persepsi, obyek atau target yang dipersepsikan dan situasi. Di
antara karakteristik pribadi dari pelaku persepsi yang lebih relevan
mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan
pengharapan (ekspektasi). Obyek atau target bisa berupa orang, benda atau
peristiwa. Sifat-sifat obyek atau target itu biasanya berpengaruh terhadap
persepsi orang yang melihatnya.
Situasi adalah konteks objek atau peristiwa, yang meliputi unsur-unsur lingkungan
sekitar dan waktu. Kita semua sadar akan lingkungan kita, namun tidak semuanya
sama pentingnya menurut persepsi kita. Kita menyimak beberapa data dan membuang yang lainnya.
Setiap orang menerima begitu banyak data-data sensoris sehingga tidak mungkin
untuk memprosesnya semua. Otak membawa data-data itu melewati suatu perceptual
filter yang akan menahan beberapa bagian (selective attention) dan membuang
yang lainnya. Perceptual selectivity adalah proses dimana seseorang menyaring dan memilih berbagai objek dan
stimuli yang bersaing untuk memperoleh perhatian. Orang biasanya akan fokus
pada stimuli yang memenuhi kebutuhan mereka dan konsisten dengan sikap, nilai
dan personaliti mereka. Karakteristik dari stimuli itu sendiri juga akan
mempengaruhi proses perceptual selectivity. Orang cenderung akan memperhatikan
stimuli yang menonjol dari stimuli lainnya atau yang lebih kuat dari stimuli
lainnya. Orang juga cenderung akan lebih memperhatikan segala sesuatu yang
familiar dengan mereka (Daft, 2003).
Persepsi selektif
Persepsi selektif adalah menginterpretasikan secara selektif apa yang dilihat seseorang yang
berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan SIKAP sikap seseorang. Kekonstanan
Persepsi Di dalam pembelajaran persepsi kita perlu untuk mengenal tentang
kekonstanan dari persepsi itu sendiri (konsistensi), yaitu persepsi bersifat
tetap yang dipengaruhi oleh pengalaman. Kekonstanan persepsi tersebut meliputi
bentuk, ukuran, dan warna. Salah satu contoh kekonstanan persepsi, yaitu ketika
kita meminum susu ditempat yang gelap maka kita tidak akan menyebut warna susu
tersebut hitam, melainkan kita akan tetap menyebut warna susu adalah putih meski di dalam kegelapan warna putih sebenarnya tidak tampak.
Begitu pula saat kita melihat uang logam dari arah samping, kita tetap akan
menyebut uang logam tersebut berbentuk bundar. Padahal apabila kita melihat
dari samping maka sebenarnya kita melihat uang logam tersebut berbentuk pipih.
Itulah yang disebut dengan kekonstanan persepsi, kita memberikan persepsi
terhadap suatu obyek berdasarkan pengalaman yang kita peroleh sebelumnya
Jenis-jenis persepsi Berdasarkan proses pemahaman terhadap suatu rangsang atau
stimulus yang diperoleh oleh indera manusia menyebabkan persepsi terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu :
1.
Persepsi visual adalah Persepsi didapatkan dari indera penglihatan. Persepsi visual
merupakan hasil dari apa yang kita lihat baik sebelum kita melihat atau masih
membayangkan dan sesudah melakukan pada objek yang dituju. Persepsi visual ini
merupakan persepsi yang paling awal berkembang pada bayi, dan memengaruhi bayi
dan balita untuk memahami dunianya. Persepsi visual merupakan topik utama dari
bahasan persepsi secara umum, sekaligus persepsi yang biasanya paling sering
dibicarakan dalam konteks keseharian.
3. Persepsi perabaan Persepsi yang didapatkan dari indera taktil yaitu kulit.
Bimo Walgito menyatakan bahwa persepsi merupakan proses yang terjadi di
dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang
itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali
dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Davidoff berpendapat
bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian
terhadap stimulus oleh organisme atau individu sehingga didapat sesuatu yang
berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Bower
memberikan definisi yang hampir sama dengan kedua tokoh di atas bahwa persepsi
adalah interpretasi tentang apa yang diinderakan atau dirasakan individu.
Persepsi dalam arti sempit : adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang
melihat sesuatu . Dalam arti luas : adalah pandangan atau
pengertian , yaitu bagaimana seeseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang
disimpan didalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterprestasi
stimulus (rangsangan) yang diteriman oleh alat indera seperti mata, telinga,
dan hidung (Matlin, 1989; Solso,1988). Secara singkat dapat dikatakan bahwa
prsepsi merupakan suatu proses menginterprestasi atau menafsirkan informasi
yang diperoleh melalui sistem indera manusia. Misalnya pada waktu seorang
melihat sebuah gambar, membaca tulisan, atau mendengar suara tertentu, ia akan
melakukan interprestasi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dan relevan
dengan hal-hal itu. Presepsi mencakup dua proses yaitu bottom-up atau data
driven processing (aspek stimulus), dan top-down atau conceptually driven
processing (aspek pengetahuan seseorang). Hasil persepsi seseorang mengenai
sesuatu objek disamping dipengaruhi oleh penampilan objek itu sendiri, juga
pengetahuan seseorang mengenai objek itu. Ada tiga aspek dalam presepsi yang
dianggap sangat relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera,
pengenalan pola, dan perhatian.Persepsi disini memiliki tiga dimensi, yaitu
1.
Dimensi evaluasi yaitu penilaian untuk memutuskan
sifat baik buruk, disukai-tidak disukai, positif-negatif pada orang lain.
2.
Dimensi potensi yaitu kualitas dari orang sebagai
stimulus yang diamati (kuat-lemah, sering-jarang, jelas-tidak jelas).
3.
Dimensi aktivitas yaitu sifat aktif atau pasifnya
orang sebagai stimulus yang diamati.
Berdasarkan
tiga dimensi tersebut, maka persepsi sosial didasarkan pada dimensi evaluatif,
yaitu untuk menilai orang. Penilaian ini akan menjadi penentu untuk
berinteraksi dengan orang selanjutnya. Artinya, persepsi sosial timbul karena
adanya kebutuhan untuk mengerti dan meramalkan orang lain. Maka dalam persepsi
sosial tercakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu :
1.
Aksi orang
lain, yaitu tindakan individu yang berdasarkan pemahaman tentang orang lain
yang dinamis, aktif dan independen.
2.
Reaksi orang lain, merupakan aksi individu
menghasilkan reaksi dari individu, karena aksi individu dan orang lain tidak
terpisah. Pemahaman individu dan cara pendekatannya terhadap orang lain
mempengaruhi perilaku orang lain itu sehingga timbul reaksi.
3.
aInteraksi dengan orang lain, yaitu reaksi dari orang
lain mempengaruhi reaksi balik yang akan muncul. Dalam usaha menginterpretasi
orang lain sering digunakan dimensi-dimensi tertentu
C.
Atribusi
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh
Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya adalah
seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang berusaha untuk mengerti tingkah
laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi
sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang
lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha
untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu.
Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita
ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian. Dua fokus
perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu di dalam diri
atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena
sifat dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya,
dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk
membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita melihat/menyimpulkan
bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena sifat-sifat kepribadiannya
(suka mencuri) maka kita telah melakukan atribusi internal (internal
attribution). Tetapi jika kita melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya
mencuri untuk membeli obat) maka kita melakukan atribusi eksternal (external
attribution). Proses atribusi telah menarik perhatian para
pakar psikologi sosial dan telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif
dalam beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori atribusi berkembang dari tulisan Fritz
Heider (1958) yang berjudul “Psychology of Interpersonal relations). Dalam
tulisan tersebut Heider menggambarkan apa yang disebutnya “native theory of
action”, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk
menafsirkan, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka
kerja ini, konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk
mencoba dan tujuan) memainkan peran penting.
Menurut Heider ada dua sumber atribusi tingkah laku: (1). Atribusi internal atau atribusi disposisional. (2).Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan. Pada atribusi internal kita menyimpulkan
bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur
psikologis yang mendahului tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan
bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau lingkungan
orang itu berada. Dua teori yang paling menonjol dari segi konsep dan
penelitian, yaitu teori inferensi terkait (correspondence inference) dari Jones
dan Davis (1965) dan teori ko-variasi Kelley (Kelly’s covarioance Theory) yang
dirumuskan oleh Harlod Kelley (1972).
Teori Atribusi memiliki tiga asumsi
dasar, yaitu Pertama orang berusaha untuk menentukan penyebab perilaku. Bila
merasa ragu, mereka akan mencari informasi yang akan membantu mereka menjawab
pertanyaan. Asumsi kedua adalah orang membagi penyebab secara sistematis, dan
asumsi ketiga adalah penyebab yang dihubungkan mempunyai dampak terhadap
perasaan dan perilaku yang memandangnya
Daftar
Pustaka
Aronson, E., Wilson, T.D. & Akert, R.M. (2003). Psikologi
Sosial. Atas Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Heider, F. (1958). Psikologi Hubungan Interpersonal. New
York: Wiley.
Jones, EE, DE Kannouse, HH Kelley, RE Nisbett, S. Valins, dan
B. Weiner, Eds. (1972). Atribusi: Pasrah Penyebab Perilaku. Morristown, NJ:
Umum Tekan Belajar.
Harvey, J.H. & Lelah, G. (1985). Atribusi: Isu Dasar dan
Aplikasi, Academic Press, San Diego.
Weiner, B. (1974). Motivasi berprestasi dan teori atribusi.
Morristown, N.J.: Umum Tekan Belajar.