Hallo guys, gimana kabar kalian?, baik
kan pastinya. Kali ini saya akan memberikan sebuah informasi berkaitan dengan
anak dan game online. Penasaran kan? Yuk kita lihat...cek this out guys.
Seperti yang kita ketahui pengguna
internet aktif di Indonesia lebih dari 50% dari jumlah penduduk. Menurut APJII
( Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ) tahun 2017 mencapai 143 juta
jiwa atau setara dengan 51,43% dari 260 juta jiwa. APJII menyatakan pengguna
internet usia anak 8-14 tahun sekitar 16% dari pengguna internet aktif di
Indonesia, dan sekitar 96% anak usia 8-14 tahun memakai internet untuk bermain
game online. Sedangkan di tahun 2016
repubika.co menyatakan sekitar 25% dari 572 orang tua yang memiliki anak
usia dibawah 12 tahun membiarkan anak mereka menggunakan gadget dan
berinteraksi dengan game online. Menurut republika.co hampir 15% responden
mengatakan bahwa anak mereka merasa hilang tanpa adanya gadget dan juga para
orang tua memandang kebiasaan hi-tech sebagai tanda anak mereka telah terobsesi
atau kecanduan gadget khususnya game online. Banyak yang tak sadar bahwa game
online juga terdapat hal hal yang sering kali menjadi kekhawatiran yaitu adanya
stereotipe gender yang tentunya merubah mental anak dan juga menggeser pola
pola realitas sosial kehidupan mereka
Stereotipe
Gender di Game Online? Apa itu...?
Studi gender sejak tahun 1990-an hanya
berfokus pada dampak dari praktik gender, bukan melihat jenis kelamin sebagai
budaya yang di konstruksikan. Melalui bukunya Gender Trouble ( 1990 ) dan
bodies that matter ( 1993 ), Judith Butler salah satu peneliti menyebutkan
bahwa gender juga terkait dengan tindakan kita sehari hari dan pembagian jenis
kelamin merupakan hal keliru. Sterotipe adalah keyakinan keyakinan tentang
karakteristik seseorang ( ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi ) yang
diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial ( Manstead dan Hewstone,
1996:628). Jadi menurut saya stereotipe gender adalah sebuah keyakinan
masyarakat terhadap perbedaan peran perempuan dan laki laki yang dilihat dari
ciri fisik, kepribadian, nilai, dan lainnya yang merupakan dianggap sebagai
sebuah kebenaran dalam kehidpuan sosial. Stereotip gender biasanya terjadi di
lingkungan masyarakat, sekolah, dunia kerja dan bahkan kali ini mulai muncul
dalam sebuah game online. Walaupun tidak selamanya stereotipe berdampak negatif
, ada juga yang berdampak positif.
Kali ini Game online yang diminati oleh
banyak kalangan ternyata menyimpan sebuah hal yang mungkin banyak yang tidak
menyadarinya, yaitu stereotipe gender. Stereotipe gender yang ada di Game
online tidak hanya berdampak bagi kebanyakan perempuan tetapi berdampak juga
terhadap anak laki laki. Menurut kemenkominfo.go.id tahun 2016 terdapat setidaknya
6 game favorit yang mendapatkan respon terbanyak dari anak perempuan usia 7-12 tahun, yaitu
Dress Up Diary, Romantic Journey Love Story, Princess Prom Night-Dress up, I
Love pasta, Bakery Story, dan Bonnie s Brunch. Kebanyakan game basis perempuan
adalah game dalam hal pakaiaan, kecantika, salon, dan masak di dapur. Sebagai contoh
adalah game Dress Up Diary, game ini berisi konten kecantikan seorang wanita
dan menceritakan bahwa seorang wanita cantik berambut panjang lurus, merawat
wajah dan pergi ke salon, tubuh langsing, tinggi, dan kulit putih. Secara tidak langsung Game ini
memberikan sebuah konstruksi sosial sejak dini kepada anak bahwa seorang waita
idaman dan cantik harus memiliki rambut lurus, tubuh langsing, tinggi, kulit
putih. Namun bagaimana dengan anak yang berusaha untuk menjadi seorang tokoh
game tadi?. Mereka memaksakan kehendak, dan akan terjadi gangguan mental. Sebagai
contoh saya mempunyai seorang saudara perempuan yang memang sejak usia kurang
dari 10 tahun dia sudah diperkenalkan gadget dan game online, tentunya dia
mencoba untuk memainkan sebuah game online khusus wanita yang tokohnya adalah
barbie. Tapi sayangnya dia tidak memiliki fisik yang tinggi, dia pendek, dan
hitam. Karena sudah terkonstruksi oleh game online sejak dia sudah beranjak
dewasa hingga berumur 16 tahun dia merasa tidak cantik seperti tokoh barbie,
dan pada akhirnya dia sering berteriak di rumahnya bahwa dia ingin tinggi
seperti barbie, ingin putih seperti barbie, dan ingin cantik seperti barbie. Menurut
saya ini adalah salah satu dampak adanya game online yang sangat luar biasa
sehingga seseorang benar benar sudah dikonstruksi bahwa perempuan cantik
seperti tokoh barbie. Dan yang menurut saya ekstrim adalah ketika seseorang
sudah merubah fisik secara total dan permanen dengan cara melakukan operasi untuk
menjadi tokoh game seperti yang mereka harap.
Selain stereotipe gender terhadap anak
perempuan, ternyata game onlie untuk anak laki-laki juga tak beda jauh, ada
beberapa game online yang paling sering diunduh ,yaitu combat squad, tales of
the rays, titanfall, voletarium:sky explorers,mobile legends,super mario run
dan island delta. Tidak berbeda jauh, game online ini mencoba melakukan
konstruksi makna terhadap anak laki-laki. Misalnya seorang laki aki idaman
adalah mereka yang memiliki tubuh ideal, kaya, dan memiliki banyak wanita. Selain
itu, disini juga mengkonstruksi laki laki perkasa adalah yang dapat melakukan
adu jotos, karena tak jarang adegan tokoh dalam game online memperlihatkan aksi
kelahi dan menembak.
Dengan adanya stereotipe gender game
online terhadap anak akan berdampak dari sisi mental anak, banyak anak yang
meniru adegan, fashion, lifestyle yang terpampang dalam game online yang memang
bukan menjadi bagian mereka. Sehingga timbulah pembunuhan, penembakan,
melakukan operasi, dan mengubah ciri fisik seseorang yang menurut saya
menyalahi kodrat.
Nah... untuk itu guys kita sebagai orang
yang sudah dewasa dan paham tentang bahaya game yang tidak hanya bahaya dari segi kesehatan tetapi juga
kita khawatir jika game online ini telah mengkonstruk mental dan pikiran kita ,
dan munculnya stereotipe gender kita harus memiliki solusi untuk mencegah anak
anak agar tidak selalu hidup dengan game. Karena untuk menghindarkan anak dari
game dan gadget itu suatu hal yang mustahil, oleh karena itu kita mencoba
menjadi bagian dari anak, melakukan pendekatan, memberikan sebuah pengalaman
tentang bahaya game, dan juga diajak memahami realitas game kedalam realitas
sosial.
Oke guys....sekian ya...semoga
bermanfaat...nantikan karya saya selanjutnya...bye...
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Meedia: Social Shapping and Social Consequences of ITCs. London:Sage Publication Ltd
APJII.org.id
kemenkominfo.go.id
Daftar Pustaka
APJII.org.id
kemenkominfo.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar