Selasa, 27 Maret 2018

Stereotipe Gender Game Online Terhadap Anak


Hallo guys, gimana kabar kalian?, baik kan pastinya. Kali ini saya akan memberikan sebuah informasi berkaitan dengan anak dan game online. Penasaran kan? Yuk kita lihat...cek this out guys.

Seperti yang kita ketahui pengguna internet aktif di Indonesia lebih dari 50% dari jumlah penduduk. Menurut APJII ( Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ) tahun 2017 mencapai 143 juta jiwa atau setara dengan 51,43% dari 260 juta jiwa. APJII menyatakan pengguna internet usia anak 8-14 tahun sekitar 16% dari pengguna internet aktif di Indonesia, dan sekitar 96% anak usia 8-14 tahun memakai internet untuk bermain game online. Sedangkan di tahun 2016  repubika.co menyatakan sekitar 25% dari 572 orang tua yang memiliki anak usia dibawah 12 tahun membiarkan anak mereka menggunakan gadget dan berinteraksi dengan game online. Menurut republika.co hampir 15% responden mengatakan bahwa anak mereka merasa hilang tanpa adanya gadget dan juga para orang tua memandang kebiasaan hi-tech sebagai tanda anak mereka telah terobsesi atau kecanduan gadget khususnya game online. Banyak yang tak sadar bahwa game online juga terdapat hal hal yang sering kali menjadi kekhawatiran yaitu adanya stereotipe gender yang tentunya merubah mental anak dan juga menggeser pola pola realitas sosial kehidupan mereka

Stereotipe Gender di Game Online? Apa itu...?

Studi gender sejak tahun 1990-an hanya berfokus pada dampak dari praktik gender, bukan melihat jenis kelamin sebagai budaya yang di konstruksikan. Melalui bukunya Gender Trouble ( 1990 ) dan bodies that matter ( 1993 ), Judith Butler salah satu peneliti menyebutkan bahwa gender juga terkait dengan tindakan kita sehari hari dan pembagian jenis kelamin merupakan hal keliru. Sterotipe adalah keyakinan keyakinan tentang karakteristik seseorang ( ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi ) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial ( Manstead dan Hewstone, 1996:628). Jadi menurut saya stereotipe gender adalah sebuah keyakinan masyarakat terhadap perbedaan peran perempuan dan laki laki yang dilihat dari ciri fisik, kepribadian, nilai, dan lainnya yang merupakan dianggap sebagai sebuah kebenaran dalam kehidpuan sosial. Stereotip gender biasanya terjadi di lingkungan masyarakat, sekolah, dunia kerja dan bahkan kali ini mulai muncul dalam sebuah game online. Walaupun tidak selamanya stereotipe berdampak negatif , ada juga yang berdampak positif.

Kali ini Game online yang diminati oleh banyak kalangan ternyata menyimpan sebuah hal yang mungkin banyak yang tidak menyadarinya, yaitu stereotipe gender. Stereotipe gender yang ada di Game online tidak hanya berdampak bagi kebanyakan perempuan tetapi berdampak juga terhadap anak laki laki. Menurut kemenkominfo.go.id tahun 2016 terdapat setidaknya 6  game favorit yang mendapatkan  respon terbanyak dari anak perempuan usia 7-12 tahun, yaitu Dress Up Diary, Romantic Journey Love Story, Princess Prom Night-Dress up, I Love pasta, Bakery Story, dan Bonnie s Brunch. Kebanyakan game basis perempuan adalah game dalam hal pakaiaan, kecantika, salon, dan masak di dapur. Sebagai contoh adalah game Dress Up Diary, game ini berisi konten kecantikan seorang wanita dan menceritakan bahwa seorang wanita cantik berambut panjang lurus, merawat wajah dan pergi ke salon, tubuh langsing, tinggi,  dan kulit putih. Secara tidak langsung Game ini memberikan sebuah konstruksi sosial sejak dini kepada anak bahwa seorang waita idaman dan cantik harus memiliki rambut lurus, tubuh langsing, tinggi, kulit putih. Namun bagaimana dengan anak yang berusaha untuk menjadi seorang tokoh game tadi?. Mereka memaksakan kehendak, dan akan terjadi gangguan mental. Sebagai contoh saya mempunyai seorang saudara perempuan yang memang sejak usia kurang dari 10 tahun dia sudah diperkenalkan gadget dan game online, tentunya dia mencoba untuk memainkan sebuah game online khusus wanita yang tokohnya adalah barbie. Tapi sayangnya dia tidak memiliki fisik yang tinggi, dia pendek, dan hitam. Karena sudah terkonstruksi oleh game online sejak dia sudah beranjak dewasa hingga berumur 16 tahun dia merasa tidak cantik seperti tokoh barbie, dan pada akhirnya dia sering berteriak di rumahnya bahwa dia ingin tinggi seperti barbie, ingin putih seperti barbie, dan ingin cantik seperti barbie. Menurut saya ini adalah salah satu dampak adanya game online yang sangat luar biasa sehingga seseorang benar benar sudah dikonstruksi bahwa perempuan cantik seperti tokoh barbie. Dan yang menurut saya ekstrim adalah ketika seseorang sudah merubah fisik secara total dan permanen dengan cara melakukan operasi untuk menjadi tokoh game seperti yang mereka harap.

Selain stereotipe gender terhadap anak perempuan, ternyata game onlie untuk anak laki-laki juga tak beda jauh, ada beberapa game online yang paling sering diunduh ,yaitu combat squad, tales of the rays, titanfall, voletarium:sky explorers,mobile legends,super mario run dan island delta. Tidak berbeda jauh, game online ini mencoba melakukan konstruksi makna terhadap anak laki-laki. Misalnya seorang laki aki idaman adalah mereka yang memiliki tubuh ideal, kaya, dan memiliki banyak wanita. Selain itu, disini juga mengkonstruksi laki laki perkasa adalah yang dapat melakukan adu jotos, karena tak jarang adegan tokoh dalam game online memperlihatkan aksi kelahi dan menembak.

Dengan adanya stereotipe gender game online terhadap anak akan berdampak dari sisi mental anak, banyak anak yang meniru adegan, fashion, lifestyle yang terpampang dalam game online yang memang bukan menjadi bagian mereka. Sehingga timbulah pembunuhan, penembakan, melakukan operasi, dan mengubah ciri fisik seseorang yang menurut saya menyalahi kodrat.

Nah... untuk itu guys kita sebagai orang yang sudah dewasa dan paham tentang bahaya game yang tidak  hanya bahaya dari segi kesehatan tetapi juga kita khawatir jika game online ini telah mengkonstruk mental dan pikiran kita , dan munculnya stereotipe gender kita harus memiliki solusi untuk mencegah anak anak agar tidak selalu hidup dengan game. Karena untuk menghindarkan anak dari game dan gadget itu suatu hal yang mustahil, oleh karena itu kita mencoba menjadi bagian dari anak, melakukan pendekatan, memberikan sebuah pengalaman tentang bahaya game, dan juga diajak memahami realitas game kedalam realitas sosial.

Oke guys....sekian ya...semoga bermanfaat...nantikan karya saya selanjutnya...bye...



Daftar Pustaka

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Meedia: Social Shapping and Social Consequences of ITCs. London:Sage Publication Ltd

APJII.org.id

kemenkominfo.go.id









Tidak ada komentar:

Posting Komentar