*
“Tubuh
Bisa Hancur Terkubur Didalam Tanah Atau Habis Terbakar Oleh Kayu Bakar.
Ananging Pikiranmu Ni Tidak ada Batas Waktunya, Jangan Biarkan Pikiranmu Terpenjara”
Film besutan Hanung
Bramantyo yang rilis pada 21 April 2017 ini menceritakan tentang tentang
Kartini (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) yang tumbuh dengan melihat
langsung Ibunya bernama Ngasirah (diperankan oleh Christine Hakim) yang menjadi
orang terbuang di rumahnya sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan tidak memiliki
darah ningrat dan menjadi seorang pembantu. Sang ayah bernama Raden
Sosroningrat (diperankan oleh Deddy Sutomo) yang sangat mencintai Kartini tidak
berdaya melawan tradisi yang sudah turun temurun. Sepanjang perjalanan
hidupnya, Kartini berjuang untuk mensetarakan hak bagi semua orang baik ningrat
ataupun bukan. Terutama hak pendidikan untuk perempuan, Bersama kedua
saudarinya bernama Roekmini (diperankan oleh Acha Septriasa) dan Kardinah
(diperankan oleh Ayusitha). Kartini berjuang untuk mendirikan sebuah sekolah
untuk kaum miskin dan menciptakan sebuah lapangan pekerjaan bagi semua
masyarakat Jepara.
Secara keseluruhan Film
ini tidak hanya berbicara tentang perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan
hak dan kebebasan dalam bersuara, berpendidikan dan kebebasan dalam hidupnya,
tetapi film ini juga menceritakan tentang adat kerajaan jawa yang kental dengan
sistem Patriarki, disinalah sosok Kartini muncul untuk mengubah sistem patriarki
yang ada pada saat itu. Dalam film ini juga bercerita tentang seorang Kartini
yang ingin diperlakukan layaknya rakyat biasa yang tak perlu adat sopan santun
kerajaan jawa yang rumit.
*
Memahami persoalan
gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan berbagai kajian yang bisa
mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender. Kajian-kajian yang sering
digunakan untuk memahami persoalan gender adalah kajian-kajian dalam ilmu-ilmu
sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian social inilah muncul berbagai
teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori gender atau sering
juga disebut teori-teori feminisme.
Feminisme adalah sebuah
paham yang muncul ketika wanita menuntut untuk mendapatkan kesetaraan hak yang
sama dengan pria. Istilah ini pertama kali digunakan di dalam debat politik di
Perancis di akhir abad 19. Menurut June Hannam (2007:22) di dalam buku
Feminism, kata feminisme bisa diartikan sebagai Pengakuan tentang
ketidakseimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan peranan wanita
berada dibawah pria, Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentuk secara sosial dan
maka dari itu dapat diubah, dan
Penekanan pada otonomi wanita.
Feminisme juga adalah
sebuah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan
persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka
adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama,
budaya, dan struktur kehidupan lainnya. Feminisme, dapat diberi pengertian
sebagai “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh
perempaun maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi
ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme(diskriminasi atas dasar jenis
kelamin), dominasi lelaki serta system patriaki dan melakukan suatu tindakan
untuk menentangnya adalah seorang feminis. Menurut analisis fenimisme,
ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap
konsep gender yang disamakan dengan konsep seks. Sekalipun kata “gender” dan
“seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin.
Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami,
dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan
dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja.
Seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki
tidak.
Feminis Liberal memilki
pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara
kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara.
Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal
Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara
bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan
perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya,
pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki
pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan
untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah
negara”.[1]Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan
dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki
Aliran Feminis radikal
bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal
Ide Feminis Posmo -
menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial
karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah.
Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme Anarkisme lebih bersifat
sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan
menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber
permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
Kaum Feminis Marxis,
menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan
hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan
sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk
memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang
menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja
Selain membentuk
konstruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas
layar (Sobur, 2006: 127). Begitu pula halnya dengan masalah mengenai perempuan yang
selalu menarik untuk dibicarakan dan tidak akan pernah ada habisnya untuk
dibahas. Pandangan masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk
oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau
film. Dengan hal ini, saya menganngkat Film Kartini dengan perspektif
Feminisme. Film ini diangkat dari kisah hidup Kartini, seorang tokoh wanita
Indonesia yang penuh dengan kontroversial. Raden Ajeng Kartini kita kenal
sebagai seorang tokoh perjuangan emansipasi wanita dan secara khusus sebagai
pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Semasa hidupnya, Kartini memperjuangkan
hak-hak kaumnya yang berdampak hingga kini.
Disinilah dapat saya
sampaikan bahwa saya menggunakan perspektif Feminisme terhadap Film Kartini.
Seperti yang kita ketahui bahwa gerakan Feminisme adalah sebuah gerakan yang
bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, memperjuangkan hak
perempuan dalam berbagai bidang. Hal tersebut sangat tergambar jelas dalam Film
Kartini karya Hanung Bramantyo. Ketika Kartini memperjuangkan hak Perempuan
seperti yang tergambar dalam adegan dialog “ tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran. Tubuh boleh
terpasung tapi jiwa dan pikiran harus bebas sebebas-bebasnya, sekalinya jiwa
diserahkan selamanya tak akan pernah kita miliki kembali”. Dialog tersebut
menjelaskan bahwa betapa tersiksanya kaum perempuan pada saat itu, tubuh mereka
tak berdaya, jiwa mereka pun serasa tak berguna. Hidup kaum perempuan di zaman
kerajaan sangatlah sulit untuk mendapatkan kebebasan. Merasa di rampas hak-hak
mereka. Tapi disinilah sosok Kartini yang mempunyai pikiran luar biasa,
cita-cita mulia yang ingin membebaskan kaum perempuan dari sebuah pasungan.
Langkah awal Kartini adalah membaca sebuah karya-karya dari negara Belanda
tentang kebebasan perempuan di sana. Kemudian Kartini mempunyai inspirasi untuk
mengadakan sinau bareng dengan rakyat sekitar kerajaan. Kartini membuka
lebar-lebar pintu masuk kerajaan dan mengajarkan huruf kepada kaum perempuan.
Selain itu, tradisi Jawa pingitan yang Kartini usaha untuk merubah tradisi
tersebut. Tradisi Pingitan ini adalah sebuah tradisi dimana seorang anak raja
dikurung di rumah tak boleh pergi kemana-mana. Kartini berusaha mengubah
tradisi Pingitan yang hanya dikurung di rumah dengan mengajarkan kepada
adik-adik mereka walaupun dipingit tapi harus tetap menghasilkan sebuah karya.
Dari sinilah kartini mulai menulis sebuah artikel tentang perempuan jawa , dan
ternyata artikel ini disukai oleh pihak Belanda. Akhirnya secara tidak langsung
Kartini berhasil membawa nama dirinya ke kancah internasional, dan tentunya
semakin bebas untuk berkarya dan bersuara.
Kartini dan kedua
saudaranya mempunyai keyakinan bahwa mereka tidak akan menikah, karena tidak
menikah saja mereka sudah bisa berbagi kebahagiaan. Selain itu juga, mereka
menganggap bahwa pernikahan pada masa itu adalah hanya sebagai objek seksual
lelaki, karena perempuan yang dinikahi oleh lelaki di jaman itu bebas untuk
tergantikan oleh perempuan lain dalam arti lain lelaki bebas untuk memiliki berapapun
istri. Tetapi lambat laun ayahanda Kartini menikahkan Kardinah dengan Dimas
Aryo selaku wakil bupati Pemalang, karena Ayah Kartini, dan Kardinah sudah
terlanjur janji. Karena sebagai seorang bangsawan tidak boleh ingkar janji.
Beberapa waktu kemudian
Kartini berencana untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi di Negeri
Belanda. Tetapi banyak persoalan di dalamnya, karena Kartini menganggap telah
melanggar tradisi yang seharusnya wanita tak usah menempuh pendidikan tinggi.
Seharusnya wanita itu sebagai teman suami dirumah atau bisa disebut konco
wingking. Banyak pertentangan perihal keinginan Kartini untuk melanjutkan
sekolah ke Negeri Belanda. Ayahanda Kartini secara pribadi menyetujui rencana
Kartini, tetapi kakak, Ibunda tiri, ibu Ngasirah, dan para saudara menentang
keras keputusan Kartini dan Ayahandanya. Dalam adegan ini sudah sangat jelas
bahwa seorang wanita saat itu tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan sebuah
pendidikan dan dijadikan sebagai konco wingking yang harus menghormati suami
dan jiwa raga mereka terasa dipenjara.
Adegan lain adalah
ketika Kartini akan dinikahkan, ia meminta syarat diantaranya kartini tidak mau
mencuci kaki dari raden mas Joyoadiningrat, Kartini tidak mau dibebani oleh
pranata sopan santun yang rumit dan diperlakukan seperti orang biasa, Kartini
mengharuskan calon suaminya untuk membantu mendirikan sekolah untuk perempuan
dan orang miskin, dan yang terakhir bahwa Yu Ngasirah tidak lagi tinggal
dirumah belakang, tapi tinggal di rumah depan, dan memanggilnya dengan sebutan
Mas ajeng bukan Yu lagi. Dan akhirnya calon suami Kartini menyetujui syarat
Kartini. Walaupun rencana melanjutkan pendidikan tinggi dengan beasiswa ke
Belanda gagal, tetapi Kartini berhasil mendirikan sekolah di pendopo Rembang
atas dukungan suaminya. Hal ini membuktkan bahwa Kartini memiliki tekad untuk
merubah nasib perempuan.
*
Film ini menceritakan
kehidupan Kartini dan lingkungannya sejak awal kelahiran Kartini hingga
wafatnya. Dalam film banyak disorot kehidupan perempuan Jawa pada masa itu.
Menurut Storey, posisi perempuan dalam kesenian, hukum, adat, tradisi serta
agama menggambarkan ketertindasan yang sudah begitu mapan dan berkepanjangan.
Artinya, di dalam kebudayaan perempuan tetap tertindas secara terus-menerus
(Sunarto, 2000: 8). Dalam perkembangan budaya, konsep di atas berakar kuat
dalam adat istiadat yang kadang kala membelenggu perkembangan perempuan. Begitu
pula halnya dengan perempuan Jawa dalam film R.A.Kartini. Budaya poligami,
pingitan, perjodohan dan berbagai perlakuan tidak adil lainnya dialami oleh
mereka. Sistem adat yang sarat dengan ideologi patriarki membuat perempuan Jawa
menjadi kaum yang tertindas. Ideologi patriarki dalam film R.A.Kartini
ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa,
keterbungkaman perempuan Jawa, serta diskriminasi dan subordinasi yang dialami
oleh perempuan Jawa.
Gerakan perempuan di
Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi
surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella,
Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku
ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka,
menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku
ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk
memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil
kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini;
dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa
ini.
Dalam surat-suratnya,
Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai
anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai
makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat
tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri
keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang
dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus
bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini
bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi
pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri
mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.”
Sampai pada titik ini,
pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun
akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya
lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya
anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan
sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan
dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani.
Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama
Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai
seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak
dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak
terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan
beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon
dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat
bagi suaminya,sama sekali baik-baik saja. “Kawan-kawan yang baik dan budiman.
Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang
pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu
dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di
situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…”
Pengaruh feminis yang
paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya
sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding
teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari
orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis
feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan
dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah
wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata
berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada
abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang
muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber
di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini
sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi
laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam
pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri
tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan
sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah
melahirkan anak pertamanya.
Justru yang
mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon,
Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua
surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah
Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis
(baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan
ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak
langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat
Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah
sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia
yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki
perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini.
Film Kartini
menceritakan mengenai perjuangan sosok Kartini di tengah dominasi ideologi
patriarki dalam kebudayaan Jawa. Kartini seperti halnya semua tokoh perempuan
Jawa dalam film, digambarkan mengalami ketidakadilan jender baik dalam
keluarga, pendidikan, maupun pembagian kerja. Dari awal film diperlihatkan
bagaimana Kartini terlahir dalam keluarga yang poligami dan mengalami berbagai
diskriminasi yang membuat cita-citanya sempat kandas. Kemudian Kartini juga
terpaksa menikah melalui perjodohan yang membawanya kembali pada derita
poligami. Akan tetapi karakter Kartini yang tidak menyerah memperlihatkan
bagaimana dia berjuang di tengah lingkungan yang tidak mendukung seorang
perempuan untuk maju. Dalam film Kartini, sosok Kartini sebagai tokoh utama
mendobrak mitos yang selama ini melekat pada diri perempuan Jawa hingga
menjadikan perempuan Jawa dipandang sebelah mata. Perjuangan Kartini pada
akhirnya memunculkan kekuasaannya sebagai seorang perempuan Jawa. Kekuasaan
perempuan Jawa adalah kemampuan perempuan Jawa untuk mempengaruhi, menentukan,
bahkan mungkin mendominasi suatu keputusan. Konsep perempuan Jawa sebagai konco
wingking berlaku sebagai kondisi sakprayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi
budaya Jawa sehingga berkembang menjadi mitos. Meski demikian, terdapat konsep
baru yang menyebutkan bahwa konco wingking atau menjadi orang yang berada
dibelakang itu tidak selalu lebih buruk atau lebih rendah. Konco wingking dapat
juga seperti seorang sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya
sendiri, tetapi ia yang menentukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti
apa jadinya film itu nanti. Kemudian istilah sigaraning nyawa atau belahan
jiwa. juga tampak jelas memberi gambaran posisi yang sejajar dan lebih
*
Ketidakadilan gender
yang menyebabkan kesenjangan peran antara perempuan dan laki-laki merupakan
akibat adanya konstruksi sosial dalam masyarakat yang bias jender. Kesenjangan
tersebut terjadi dalam lingkup keluarga maupun pendidikan. Perempuan Jawa
mengalami pola ketergantungan karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Selanjutnya, film Kartini juga menunjukkan bagaimana
perempuan Jawa berjuang hingga mampu membalikkan keadaan yang semula tidak
mendukungnya hingga mendukungnya untuk mencapai cita-cita. Di balik wajah
ketertindasan, perempuan Jawa mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi
lingkungannya dengan cara-cara yang tidak konfrontatif. Melalui pendidikan,
paradigma yang maju, dan keberanian, perempuan Jawa dalam film ini meraih
cita-citanya. Bahkan ia berani membuat perubahan dan membukakan pikiran
orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki maupun perempuan tentang kesetaraan Gender.