Kamis, 21 Desember 2017

Perspektif Feminisme Dalam Film Kartini ( 2017 )


*
“Tubuh Bisa Hancur Terkubur Didalam Tanah Atau Habis Terbakar Oleh Kayu Bakar. Ananging Pikiranmu Ni Tidak ada Batas Waktunya, Jangan Biarkan Pikiranmu Terpenjara”

Film besutan Hanung Bramantyo yang rilis pada 21 April 2017 ini menceritakan tentang tentang Kartini (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) yang tumbuh dengan melihat langsung Ibunya bernama Ngasirah (diperankan oleh Christine Hakim) yang menjadi orang terbuang di rumahnya sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan tidak memiliki darah ningrat dan menjadi seorang pembantu. Sang ayah bernama Raden Sosroningrat (diperankan oleh Deddy Sutomo) yang sangat mencintai Kartini tidak berdaya melawan tradisi yang sudah turun temurun. Sepanjang perjalanan hidupnya, Kartini berjuang untuk mensetarakan hak bagi semua orang baik ningrat ataupun bukan. Terutama hak pendidikan untuk perempuan, Bersama kedua saudarinya bernama Roekmini (diperankan oleh Acha Septriasa) dan Kardinah (diperankan oleh Ayusitha). Kartini berjuang untuk mendirikan sebuah sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan sebuah lapangan pekerjaan bagi semua masyarakat Jepara.
Secara keseluruhan Film ini tidak hanya berbicara tentang perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak dan kebebasan dalam bersuara, berpendidikan dan kebebasan dalam hidupnya, tetapi film ini juga menceritakan tentang adat kerajaan jawa yang kental dengan sistem Patriarki, disinalah sosok Kartini muncul untuk mengubah sistem patriarki yang ada pada saat itu. Dalam film ini juga bercerita tentang seorang Kartini yang ingin diperlakukan layaknya rakyat biasa yang tak perlu adat sopan santun kerajaan jawa yang rumit.





*

Memahami persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender. Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian social inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme.
Feminisme adalah sebuah paham yang muncul ketika wanita menuntut untuk mendapatkan kesetaraan hak yang sama dengan pria. Istilah ini pertama kali digunakan di dalam debat politik di Perancis di akhir abad 19. Menurut June Hannam (2007:22) di dalam buku Feminism, kata feminisme bisa diartikan sebagai Pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan peranan wanita berada dibawah pria, Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentuk secara sosial dan maka dari itu dapat diubah, dan  Penekanan pada otonomi wanita.
Feminisme juga adalah sebuah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya. Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempaun maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme(diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki serta system patriaki dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis. Menurut analisis fenimisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks. Sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja. Seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.


Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[1]Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki
Aliran Feminis radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal
Ide Feminis Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.


Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja
Selain membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2006: 127). Begitu pula halnya dengan masalah mengenai perempuan yang selalu menarik untuk dibicarakan dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau film. Dengan hal ini, saya menganngkat Film Kartini dengan perspektif Feminisme. Film ini diangkat dari kisah hidup Kartini, seorang tokoh wanita Indonesia yang penuh dengan kontroversial. Raden Ajeng Kartini kita kenal sebagai seorang tokoh perjuangan emansipasi wanita dan secara khusus sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Semasa hidupnya, Kartini memperjuangkan hak-hak kaumnya yang berdampak hingga kini.
Disinilah dapat saya sampaikan bahwa saya menggunakan perspektif Feminisme terhadap Film Kartini. Seperti yang kita ketahui bahwa gerakan Feminisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, memperjuangkan hak perempuan dalam berbagai bidang. Hal tersebut sangat tergambar jelas dalam Film Kartini karya Hanung Bramantyo. Ketika Kartini memperjuangkan hak Perempuan seperti yang tergambar dalam adegan dialog “ tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran. Tubuh boleh terpasung tapi jiwa dan pikiran harus bebas sebebas-bebasnya, sekalinya jiwa diserahkan selamanya tak akan pernah kita miliki kembali”. Dialog tersebut menjelaskan bahwa betapa tersiksanya kaum perempuan pada saat itu, tubuh mereka tak berdaya, jiwa mereka pun serasa tak berguna. Hidup kaum perempuan di zaman kerajaan sangatlah sulit untuk mendapatkan kebebasan. Merasa di rampas hak-hak mereka. Tapi disinilah sosok Kartini yang mempunyai pikiran luar biasa, cita-cita mulia yang ingin membebaskan kaum perempuan dari sebuah pasungan. Langkah awal Kartini adalah membaca sebuah karya-karya dari negara Belanda tentang kebebasan perempuan di sana. Kemudian Kartini mempunyai inspirasi untuk mengadakan sinau bareng dengan rakyat sekitar kerajaan. Kartini membuka lebar-lebar pintu masuk kerajaan dan mengajarkan huruf kepada kaum perempuan. Selain itu, tradisi Jawa pingitan yang Kartini usaha untuk merubah tradisi tersebut. Tradisi Pingitan ini adalah sebuah tradisi dimana seorang anak raja dikurung di rumah tak boleh pergi kemana-mana. Kartini berusaha mengubah tradisi Pingitan yang hanya dikurung di rumah dengan mengajarkan kepada adik-adik mereka walaupun dipingit tapi harus tetap menghasilkan sebuah karya. Dari sinilah kartini mulai menulis sebuah artikel tentang perempuan jawa , dan ternyata artikel ini disukai oleh pihak Belanda. Akhirnya secara tidak langsung Kartini berhasil membawa nama dirinya ke kancah internasional, dan tentunya semakin bebas untuk berkarya dan bersuara.
Kartini dan kedua saudaranya mempunyai keyakinan bahwa mereka tidak akan menikah, karena tidak menikah saja mereka sudah bisa berbagi kebahagiaan. Selain itu juga, mereka menganggap bahwa pernikahan pada masa itu adalah hanya sebagai objek seksual lelaki, karena perempuan yang dinikahi oleh lelaki di jaman itu bebas untuk tergantikan oleh perempuan lain dalam arti lain lelaki bebas untuk memiliki berapapun istri. Tetapi lambat laun ayahanda Kartini menikahkan Kardinah dengan Dimas Aryo selaku wakil bupati Pemalang, karena Ayah Kartini, dan Kardinah sudah terlanjur janji. Karena sebagai seorang bangsawan tidak boleh ingkar janji.
Beberapa waktu kemudian Kartini berencana untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi di Negeri Belanda. Tetapi banyak persoalan di dalamnya, karena Kartini menganggap telah melanggar tradisi yang seharusnya wanita tak usah menempuh pendidikan tinggi. Seharusnya wanita itu sebagai teman suami dirumah atau bisa disebut konco wingking. Banyak pertentangan perihal keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolah ke Negeri Belanda. Ayahanda Kartini secara pribadi menyetujui rencana Kartini, tetapi kakak, Ibunda tiri, ibu Ngasirah, dan para saudara menentang keras keputusan Kartini dan Ayahandanya. Dalam adegan ini sudah sangat jelas bahwa seorang wanita saat itu tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan sebuah pendidikan dan dijadikan sebagai konco wingking yang harus menghormati suami dan jiwa raga mereka terasa dipenjara.
Adegan lain adalah ketika Kartini akan dinikahkan, ia meminta syarat diantaranya kartini tidak mau mencuci kaki dari raden mas Joyoadiningrat, Kartini tidak mau dibebani oleh pranata sopan santun yang rumit dan diperlakukan seperti orang biasa, Kartini mengharuskan calon suaminya untuk membantu mendirikan sekolah untuk perempuan dan orang miskin, dan yang terakhir bahwa Yu Ngasirah tidak lagi tinggal dirumah belakang, tapi tinggal di rumah depan, dan memanggilnya dengan sebutan Mas ajeng bukan Yu lagi. Dan akhirnya calon suami Kartini menyetujui syarat Kartini. Walaupun rencana melanjutkan pendidikan tinggi dengan beasiswa ke Belanda gagal, tetapi Kartini berhasil mendirikan sekolah di pendopo Rembang atas dukungan suaminya. Hal ini membuktkan bahwa Kartini memiliki tekad untuk merubah nasib perempuan.
*

Film ini menceritakan kehidupan Kartini dan lingkungannya sejak awal kelahiran Kartini hingga wafatnya. Dalam film banyak disorot kehidupan perempuan Jawa pada masa itu. Menurut Storey, posisi perempuan dalam kesenian, hukum, adat, tradisi serta agama menggambarkan ketertindasan yang sudah begitu mapan dan berkepanjangan. Artinya, di dalam kebudayaan perempuan tetap tertindas secara terus-menerus (Sunarto, 2000: 8). Dalam perkembangan budaya, konsep di atas berakar kuat dalam adat istiadat yang kadang kala membelenggu perkembangan perempuan. Begitu pula halnya dengan perempuan Jawa dalam film R.A.Kartini. Budaya poligami, pingitan, perjodohan dan berbagai perlakuan tidak adil lainnya dialami oleh mereka. Sistem adat yang sarat dengan ideologi patriarki membuat perempuan Jawa menjadi kaum yang tertindas. Ideologi patriarki dalam film R.A.Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa, keterbungkaman perempuan Jawa, serta diskriminasi dan subordinasi yang dialami oleh perempuan Jawa.
Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang. 
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.”
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini. 
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya,sama sekali baik-baik saja. “Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…”
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.


Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini.
Film Kartini menceritakan mengenai perjuangan sosok Kartini di tengah dominasi ideologi patriarki dalam kebudayaan Jawa. Kartini seperti halnya semua tokoh perempuan Jawa dalam film, digambarkan mengalami ketidakadilan jender baik dalam keluarga, pendidikan, maupun pembagian kerja. Dari awal film diperlihatkan bagaimana Kartini terlahir dalam keluarga yang poligami dan mengalami berbagai diskriminasi yang membuat cita-citanya sempat kandas. Kemudian Kartini juga terpaksa menikah melalui perjodohan yang membawanya kembali pada derita poligami. Akan tetapi karakter Kartini yang tidak menyerah memperlihatkan bagaimana dia berjuang di tengah lingkungan yang tidak mendukung seorang perempuan untuk maju. Dalam film Kartini, sosok Kartini sebagai tokoh utama mendobrak mitos yang selama ini melekat pada diri perempuan Jawa hingga menjadikan perempuan Jawa dipandang sebelah mata. Perjuangan Kartini pada akhirnya memunculkan kekuasaannya sebagai seorang perempuan Jawa. Kekuasaan perempuan Jawa adalah kemampuan perempuan Jawa untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mungkin mendominasi suatu keputusan. Konsep perempuan Jawa sebagai konco wingking berlaku sebagai kondisi sakprayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya Jawa sehingga berkembang menjadi mitos. Meski demikian, terdapat konsep baru yang menyebutkan bahwa konco wingking atau menjadi orang yang berada dibelakang itu tidak selalu lebih buruk atau lebih rendah. Konco wingking dapat juga seperti seorang sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri, tetapi ia yang menentukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya film itu nanti. Kemudian istilah sigaraning nyawa atau belahan jiwa. juga tampak jelas memberi gambaran posisi yang sejajar dan lebih



*

Ketidakadilan gender yang menyebabkan kesenjangan peran antara perempuan dan laki-laki merupakan akibat adanya konstruksi sosial dalam masyarakat yang bias jender. Kesenjangan tersebut terjadi dalam lingkup keluarga maupun pendidikan. Perempuan Jawa mengalami pola ketergantungan karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Selanjutnya, film Kartini juga menunjukkan bagaimana perempuan Jawa berjuang hingga mampu membalikkan keadaan yang semula tidak mendukungnya hingga mendukungnya untuk mencapai cita-cita. Di balik wajah ketertindasan, perempuan Jawa mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi lingkungannya dengan cara-cara yang tidak konfrontatif. Melalui pendidikan, paradigma yang maju, dan keberanian, perempuan Jawa dalam film ini meraih cita-citanya. Bahkan ia berani membuat perubahan dan membukakan pikiran orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki maupun perempuan tentang kesetaraan Gender.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar